Kamis, 28 November 2013

Toksikologi Logam Berat


PENDAHULUAN

Logam berat ialah benda padat atau cair yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap cm3, sedangkan logam yang beratnya kurang dari 5g adalah logam ringan. Dalam tubuh makhluk hidup logam berat termasuk dalam mineral “trace” atau mineral yang jumlahnya sangat sedikit. Beberapa mineral trace adalah esensiil karena digunakan untuk aktivitas kerja system enzim misalnya seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe) dan beberapa unsur lainnya seperti kobalt (Co), mangaan (Mn) dan beberapa lainnya. Beberapa logam bersifat non-esensiil dan bersifat toksik terhadap makhluk hidup misalnya : merkuri (Hg), kadmium (Cd) dan timbal (Pb).
Logam merupakan kelompok toksikan yang dapat berubah-ubah akibat pengaruh fisikokimia, biologis, atau akibat aktivitas manusia. Logam memperlihatkan rentang toksisitas yang lebar. Kerja utama logam adalah menghambat enzim. Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara logam dengan gugus SH pada enzim itu. Selain itu, logam dapat menggangu fungsi enzim dengan menghambat sintesisnya. Umumnya efek toksik logam merupakan akibat dari reaksi antara logam dan komponen intrasel. Untuk dapat menimbulkan efek toksiknya pada suatu sel, logam harus memasuki sel dengan melintasi membran. Dengan demikian, logam yang bersifat lipofilik misalnya metil merkuri akan lebih bersifat toksik. Apabila suatu logam terikat pada suatu protein, ikatan tersebut akan diserap secara endositosis. Logam juga dapat masuk ke dalam sel melalui difusi pasif, misalnya timbal.
Logam berat tidak mengalami metabolism, tetap berada dalam tubuh dan menyebabkan efek toksik dengan cara bergabung dengan suatu atau beberapa gugus ligan yang esensial bagi fungsi fisiologis normal. Ligan adalah suatu molekul yang mengikat molekul lain yang umumnya lebih besar. Ligan member atau menerima electron untuk membentuk ikatan kovalen, biasanya dengan logam. Antagonis logam berat, suatu kelator (chelating agent) khusus dirancang untuk berkompetisi dengan ligan terhadap logam berat, sehingga meningkatkan ekskrsi logam dan mencegah atau menghilangkan efek toksiknya. Logam berat biasa bereaksi membentuk ikatan koordinat dengan ligan dalam tubuh berbentuk –OH, -COO-, -OPO3H-, -C=O, -SH, -S-S-, NH2 dan =NH (Ganiswara 1995).




TINJAUAN PUSTAKA

Keracunan Logam Berat
Toksisitas logam adalah keracunan dalam tubuh manusia yang diakibatkan oleh bahan berbahaya yang mengandung logam beracun. Keracunan logam dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui inhalasi, kulit, dan peroral. Umumnya, logam terdapat di alam dalam bentuk batuan, biji tambang, tanah, air, dan udara (Bondy dan Prasad, 1988). Keracunan logam berat dapat berasal dari timbal, perak, barium, merkuri, arsen, dan lain-lain.
Logam Pb (timbal)
Timbal (Pb) adalah satu unsur logam berat yang lebih tersebar luas dibanding logam toksik lainnya (Chadha, 1995). Kadarnya dalam lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan dan berbagai penggunaannya dalam industri. Keracunan timbale dapat terjadi melalui absorbsi terhadap kulit, peroral, maupun inhalasi. Sebanyak 5-15 % keracunan timbale berasal dari penyerapan usus. Keracunan dapat berjalan akut, subakut, maupuin kronis (Homan dan Brogan, 1993).
Gejala keracunan timbal diantaranya pada sistem pencernaan berupa muntah-muntah, nyeri/kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada gusi, serta konstipasi kronis. gejala keracunan pada sistem jantung dan peredaran darah berupa anemia, basofilia pungtata, retikulosis, berkurangnya trombosit dan sel polimorfonuklear, hipertensi dan nefritis, serta artralgia (Hendry, 1979).
Logam Perak (Ag)
Logam perak telah lama digunakan dalam dunia medis sebagai antibakteri (Alexander, 2009). Toksisitas perak telah lama diteliti pada berbagai hewan coba. Diantara efek toksisitas perak adalah agyria (Buckley and Terhaar, 1973; Hanna et al. 1974; Rich et al. 1972; Walker 1971), efek neurologic (Rungby and Danscher 1984), penurunan berat badan, dan kematian (Matuk et al. 1981; Walker 1971).
Logam Barium (Ba)
Barium merupakan salah satu logam yang banyak menimbulkan keracunan. Efek keracunan barium menimbulkan gangguan keseimbangan potassium (hypokalemia), quadriparesis, gagal organ pernapasan akut, gastroenteritis, nyeri abdomen, dan lemah umum (Renukumar dan Sagar, 2012).



BAHAN DAN METODE

PERCOBAAN 1 : Antidota Timah Hitam (Pb)
Bahan dan Alat
·         Seduhan teh kental (zat yang mengandung tannin)
·         Larutan Pb asetat
·         Alkohol
·         HCl encer
·         Larutan Natrium thiosulfat 2%
·         Tabung reaksi
Prosedur
Tambahkan seduhan teh kedalam larutan Pb asetat 10%, kemudian campuran diambil sebagian  untuk ditambah alkohol sedang sebagian lagi ditambah larutan Hcl encer. Tambahkan larutan Natrium thiosulfat 2% ke dalam larutan Pb asetat 10%. Perhatikan apa yang terjadi dari kedua percobaan antidota timah hitam tersebut dan jelaskan reaksi yang terjadi.
           
PERCOBAAN 2 : Antidota Perak (Ag)
Bahan dan Alat
·         Larutan Argentum nitrat 1%
·         Larutan Natrium klorida 0.9%
·         Larutan Natrium thiosulfat 2%
·         Tabung reaksi
·         Corong gelas
·         Kertas saring
Prosedur
Tambahkan 0.5cc larutan NaCl 0.9% ke dalam 0.5 cc larutan AgNO3 1%.  Tambahkan 0.5 cc larutan Na thiosulfat 2% kedalam 0.5 cc larutan AgNO3 1%. Saring kedua campuran masing masing, dan masing masing filtratnya diambil sedikit untuk ditambah larutan NaCl 0.9%. Perhatikan apa yang terjadi.





PERCOBAAN 3 : Antidota Barium (Ba)
Bahan dan Alat
·         Larutan Natrium Sulfat 2%
·         Larutan Barium klorida 10 %
·         Larutan HCl 0.1%
·         Tabung reaksi
Prosedur
Tambahkan larutan Natrium sulfat 2% ke dalam larutan Barium klorida 10%. Kedalam larutan tersebut tambahkan HCl 0.1 N. Perhatikan apa yang etrjadi dan jelaskan reaksinya.

PERCOBAAN 6 : Antidota Air Raksa (Merkuri=Hg)
Bahan dan Alat
·         Larutan HgCl2 1%
·         Alkohol
·         HCl encer
·         Larutan Natrium thiosulfat 2%
·         Larutan segar albumin telur
·         Kalium iodide (KI)
·         Darah yang sudah di febrinasi
·         Natrium foraldehida sulfoksilat
·         Natrium foraldehida sulfoksilat yang telah diasamkan dengan HCl
·         Natrium foraldehida sulfoksilat yang telah di alkalinasi dengan Natrium bikarbonat
·         Dimercaprol (2,3-dimercaptopropanol=BAL) 1%
·         BAL yang telah diasamkan dengan HCl
·         BAL  yang telah di alkalinasi dengan Natrium bikarbonat
·         Tabung reaksi
Prosedur
            Tambahkan seduhan teh kedalam 5 mL larutan HgCl2 1%, bagi dua campuran ini, kemudian satu bagian ditambah alkohol, sedangkan sebagian lainnya ditambah larutan HCl encer. Tambahkan pada 0.5 mL larutan HgCl2 1% sedikit larutan segar albumin telur, perhatikan apa yang terjadi, kemudian tambahkan larutan segar albumin telur berlebih. Sediakan 6 buah tabung reaksi, masing masing di isi dengan larutan HgCl2 1%. Tambahkan pada zat seperti berikut: pada tabung reaksi pertama tambahkan beberapa tetes Natrium thiosulfat. Pada tabung kedua tambahkan secara cepat 2 cc larutan Natrium thiosulfat. Pada tabung ketiga tambahkan beberapa tetes kalium iodida. Pada tabung keempat tambahkan secara cepat larutan Natrium thiosulfat sebanyak 2 cc, diikuti kalium iodida beberapa tetes. Pada tabung kelima tambahkan 2 cc larutan albumin telur diikuti satu tetes Natrium thiosulfat kemudian kalium iodida beberapa tetes. Ulangi, tetapi sebagai ganti dari 1 tetes Natrium thiosulfat, tambahkan beberapa tetes.

 
HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1 : Antidota Timah Hitam (Pb)
            Timbal (Pb) merupakan logam yang terkandung dalam berbagai produk. Pada praktikum, senyawa yang digunakan adalah Pb asetat. Senyawa ini dapat menyebabkan keracunan timbal secara akut jika hewan terpapar dengan dosis yang cukup tinggi. Sedangkan keracunan timbal secara sub akut dapat terjadi jika hewan terpapar Pb asetat dengan dosis kecil secara terus-menerus.
Tabel 1 Hasil percobaan antidota Pb asetat
Tabung no
Campuran
Hasil
1.
Teh+Pb asaetat 10%+alkohol
Endapan melayang berwarna cokelat
2.
Teh+Pb asetat 10%+HCl encer
Endapan cokelat

3.
Pb asetat 10%+Natrium Thiosulfat 2%
Endapan putih
           





Pb asetat    ½ (TanninàPb Asetat) ½ (TanninàPb Asetat)
              +                      +                           +
Natrium Thiosulfat        HCl                    Alkohol

Pada ketiga campuran, akan ada endapan yang terbentuk akibat reaksi antara antidota dengan timbal. Endapan yang terbentuk adalah timbal hidroksida. Hal ini terjadi baik pada Pb asetat yang dicampurkan dengan tanin maupun Natrium thiosulfat. Hal ini menunjukkan bahwa tanin dan Natrium thiosulfat dapat dijadikan antidota keracunan timbal yang bekerja dengan cara mengendapkan timbal sehingga tidak dapat diabsorbsi oleh usus dan langsung dibuang. Plant phytates dapat mengikat timbal sehingga tidak dapat diapsorbsi (Tiwari dan Sinha 2010).
Pada campuran teh, Pb asetat, dan alkohol, terjadi endapan melayang berwarna cokelat dengan larutan berwarna cokelat. Setelah didiamkan beberapa menit, akan terbentuk endapan berwarna cokelat di dasar tabung dengan larutan keruh. Sedangkan pada campuran teh, Pb asetat, dan HCl encer langsung terbentuk endapan berwarna cokelat pada dasar tabung dengan warna larutan lebih jernih. Pada suasana asam, tanin akan lebih cepat mengendapkan timbal dibandingkan pada suasana basa. Selain itu, HCl merupakan asam kuat sehingga akan lebih mudah bereaksi dengan senyawa garam Pb asetat.

Percobaan 2 : Antidota Perak (Ag)
Tahap pertama
Tabel 2 Reaksi awal pencampuran.
No
Sampel
Antidota
Hasil
1
AgNO3 1% (0.5 cc)
NaCl 0.9% (0.5 cc)
Terbentuk warna putih susu
2
AgNO3 1% (0.5 cc)
Na thiosulfat 2% (0.5 cc)
Terbentuk warna kuning coklat
P121109_15
Tahap kedua
Filtrat 1 + NaCl = menghasilkan warna bening .
Filtrat 2 + NaCl = menghasilkan warna bening.
Natrium tidak pernah ditemukan tersendiri di alam. Natrium adalah logam keperak-perakan yang lembut dan mengapung di atas air, tergantung pada jumlah oksida dan logam yang terekspos pada air, natrium dapat terbakar secara spontanitas. Lazimnya unsur ini tidak terbakar pada suhu di bawah 1150C. Diantara banyak senyawa natrium yang memiliki kepentingan indutrial adalah garam dapur (NaCl), soda abu (Na2CO3), caustic soda (NaOH), Chile salpeter (NaNO3), di- dan tri-natrium fosfat, natrium tiosulfat (hypo, Na2S2O3).5H2O) dan boraks (Na2B407).10 H2O).
            Natrium tiosulfat berupa hablur besar, tidak berwarna atau serbuk hablur kasar. Mengkilap dalam udara lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih dari 330C. Larutannya netral atau basa lemah terhadap lakmus. Sangat mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol. Natrium tiosulfat juga berperan sebagai antidota untuk keracunan sianida. Sodium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzim sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida. Pada percobaan Antidota perak didapat hasil bahwa Na.Thiosulfat lebih cepat mengendapkan logam berat dibandingkan dengan NaCl 0,9%  hal ini dapat terjadi karena NaCl 0,9% adalah larutan yang sama isotonisnya dengan cairan didalam tubuh sehingga tidak berpengaruh terhadap mengatasi keracunan logam berat perak. Reaksi yang terjadi adalah :
AgNO3 + NaCl à AgCl (putih susu) + NaCl
Ag2S2O3 + NaCl à AgCl (endapan hitam) + Na2S2O3

Percobaan 3 : Antidota Barium (Ba)
Tabel 3 Reaksi logam dan antidota
Larutan
Hasil
Na2SO4 2%+BaCl 10%+HCl 0,1N
Larutan keruh dan membentuk endapan putih

Reaksi yang terjadi
BaCl2 +  Na2SO4 → BaSO4 + NaCl → endapan putih
3.jpgpencampuran larutan Natrium sulfat 2% ke dalam larutan Barium klorida 10% didapatkan hasil berupa endapan putih berupa larutan Barium sulfat dan Natrium klorida. Dalam praktikum dilakukan pemberian HCL 0.1 N dan Alkohol kedalam campuran tersebut. Didapatkan pada pemberian alkohol Barium yang ada lebih banyak mengendap dibandingkan dengan pemberian HCL 0.1 N, hal ini terkait dengan penarikan Barium oleh larutan basa alkohol sehingga pengendapan lebih maksimal terjadi. Dalam tubuh larutan NaCl direabsorbsi di dalam tubulus proximalis ginjal, sedangkan Barium yang ada akan berusaha diendapkan tubuh agar tidak terserap dan meracuni tubuh.

Percobaan 6: Antidota Air Raksa (Merkuri=Hg)
A. HgCl 1% dengan Albumin
Keracunan HgCl (garam merkuri) merupakan salah satu jenis keracunan logam berat yang banyak ditemui di perairan. Salah satu penanganan awal keracunan merkuri adalah pemberian antidota asal albumin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan albumin dapat mengendapkankan merkuri menjadi gumpalan berbentuk gelatin.



Tabel 4 Reaksi logam dan antidota
Konsentrasi HgCl dengan Albumin
Reaksi (gumpalan)
1
2
+
++

Albumin merupakan protein yang mampu berikatan dengan berbagai macam logam. Keracunan merkuri dapat diikat menjadi bentuk gumpalan gelatin. Konsentrasi gumpalan sesuai dengan jumlah merkuri dan albumin yang berikatan. Semakin tinggi konsentrasi albumin dan merkuri, semakin banyak gumpalan gelatin yang terbentuk.
B. HgCl 1% dengan beberapa antidota
a. HgCl2  1% + Na2S2O3  (beberapa tetes )           → putih, ada endapan kuning
b. HgCl2  1% + Na2S2O3  (langsung 2cc)              → kuning
c. HgCl2  1% + KI                                                 → endapan jingga (orange)
d. HgCl2  1% + Na2S2O3 (secara cepat) + KI   endapan agak orange, hitam,   supernatan jernih
e. HgCl2  1% + albumin + Na2S2O3 (1 tetes) + KI → orange, ada gumpalan albumin, jernih pada dasar
HgCl2  1%  + albumin + Na2S2O3 (beberapa tetes) + KI → gumpalan albumin, kuning
Secara alami Hg dapat berasal dari gas gunung berapi dan penguapan dari air laut. Natrium thiosulfat merupakan antidota yang baik untuk Hg. Pemberian secara perlahan-lahan akan menghasilkan larutan berwarna putih dan terbentuk endapan kuning. Apabila natrium thiosulfat diberikan sekaligus maka akan terbentuk gumpalan berwarna kuning pada permukaan dan pada dasarnya berwarna jernih. Dari kedua perlakuan tersebut dapat dilihat bahwa pemberian secara perlahan akan lebih efektif karena mampu mengendapkan Hg lebih banyak. Sedangkan pada pemberian yang sekaligus akan menyebabkan larutan tersebut menjadi jenuh. Pemberian Kalium Iodida sebagai antidota Hg akan memberikan hasil endapan berwarna orange. Hal ini berarti KI dapat mengendapkan Hg. Reaksi yang terjadi adalah HgCl2 + KI à KCl + HgI2. Endapan berwarna oranye tersebut merupakan HgI2.
Pemberian natrium thiosulfat secara cepat dan berlebih yang diikuti KI beberapa tetes akan menghasilkan endapan yang berwarna hitam dan orange serta supernatan yang jernih. Ikatan Natrium thiosulfat yang diberikan secara cepat akan menjenuhkan larutan sehingga Hg tidak dapat berikatan sempurna. Ketika diberi beberapa tetes KI maka Hg yang masih bebas akan diikat oleh Iodium sehingga menhasilkan warna orange. Untuk percobaan dengan penambahan albumin menunjukkan terjadinya gumpalan albumin, sedangkan pada penambahan darah yang telah didefibrinasi menunjukkan adanya endapan seperti pasir. Hasil ini menunjukkan bahwa albumin dan darah merupakan antidota alami yang dapat mengikat logam.

Hg2+ + 2HCl à HgCl2 + 2H+ + 2e-







KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa Setiap logam memiliki rute masing-masing untuk masuk dalam tubuh manusia. Dosis pemaparan yang dibutuhkan untuk menimbulkan keracunan dan gejala klinis yang muncul merupakan kekhasan masing-masing logam. Logam dalam bentuk ion yang beredar dalam sirkulasi tubuh akan berbahaya, sehingga salah satu mekanisme kerja dari antidota yaitu dengan membentuk Kristal dan mengendapkannya sehingga sulit diserap tubuh.


 
DAFTAR PUSTAKA
Alexander JW. 2009. History of the medical use of silver. Surg Infect (Larchmt ) 10(3):289–292.
Bondy, S.C., and Prasad, K.N. 1988. Metal Neurotixcity. Boca Raton, Fla : CRC Press.
Buckley WR, Terhaar CJ. 1973. The skin as an excretory organ in argyria. Trans St Johns Hosp   Dermatol Soc 59(1):39–44.
Chadha. 1995. Timbal  Ilmu Forensik dan Toksikologi Edisi 5. Jakarta : Widya Medika.
Ganiswara, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi ed.4. Jakarta: Gaya Baru.
Hanna C, Fraunfelder FT, Sanchez J. 1974.  Ultrastructural study of argyrosis of the cornea and conjunctiva. Arch Ophthalmol 92(1):18–22.
Hendry Matthew MD. 1979. Treatment of Common Acute Poisoning, 4th edition, Edinburgh : Churchill Livingstone.
Tiwari, Radhey Mohan dan Malini Sinha. 2010. Veterinary Toxicology. Oxford Book Company; Jaipur, India.